Gadis, Pohon Jati, dan Aspal

0

         Masih tercium aroma daun-daun kering pohon jati yang meranggas di musim yang tak tentu. Wanginya bercampur bau hangus aspal yang melepuh di jam-jam malas. Jalanan yang dikelilingi hutan pohon jati kering itu sepi pejalan dan pengendara motor. Separuh hutan yang dulunya seperti semak belukar raksasa itu telah dirambah jadi ladang penduduk kecamatan Situ. Dari cerita turun temurun, perambahan hutan itu dimulai dengan penebangan pohon besar-besaran saat masa Kepresidenan Pak... aku lupa namanya. Hutan yang akhirnya tak berambut itupun dijual pada penduduk oleh pemerintah yang katanya berhak itu.
        Jalan itu menjadi saksi yang tak dapat bersaksi pada sebuah kisah yang menggolakkan jiwa seorang gadis. Semacam saksi bisu mungkin. Hanya rekaman zaman milik Tuhan yang menyimpan memori itu dengan tanpa cela. Saat gadis itu masih berseragam putih abu-abu di hari Senin Selasa, ia lewat bersama seorang pria yang berseragam sama. Setahun kemudian seragam itu ditanggalkan oleh si pria. Lalu, gadis itu sering lewat liku-liku di bawah rindang daun jati di musim penghujan yang tak tentu. Setahun yang sangat bergejolak.
       
Satu waktu, saat di jam malas gadis dan pria itu berada di satu motor dengan laju kuda. Sang jalan berbisik pada pohon-pohon di sekelilingnya. “gadis itu menangis lagi. Aku lebih suka melihatnya sendirian.” Pohon pun menganggukkan ranting dan daunnya pada jalan yang kian melepuh. Tubuhnya yang compang-camping karena sering tertindih truk-truk bermuatan ton-tonan, membuat laju motor mereka kadang tersendat.
“trus, maumu apa? Begini nggak boleh, begitu nggak boleh.” Isak gadis itu.
“ya nuruto ae karo aku. Nggak usah protes.” Pria itu membentak si gadis dengan mata egois yang dibiaskan spion berdebu itu.
“ya maaf ae mas. Aku ya punya keinginan. Aku udah males kamu kekang terus. Mending aku dewean mulai sekarang.” Gadis itu mulai menunjukkan mata menantang, bukan lagi sorot mata ketakutan.
“maksudmu putus? Trus kamu mau bilang apa sama orangtuamu?hah?” pria temperamental itu makin menunjukkan egonya.
“ya putus. Aku nggak mau ya, terus-terusan jadi budakmu! Aku manusia bebas. Terserah kamu. Tapi aku nyerah.
          Pohon-pohon terus berdzikir pada Sang kuasa agar gadis itu baik-baik saja, “semoga dia bisa segera berlindung pada bapak ibunya.” Langsung saja doa itu diamini oleh aspal yang ikut sakit hati. Setahun ini ia telah melihat kelakuan pria itu pada si gadis. Sering mereka bertengkar di pinggir jalan, lalu benturan keras di pipi gadis mengalirkan luka. Ia tak lagi sayang pada pria itu. Dia telah lam ingin pergi, tapi ia ketakutan. Ia takut dicari, ia takut dimarahi.
        Tapi kali ini mata gadis itu telah menyiratkan tekad yang benar. Ia gadis tangguh, ia harus berani melawan kekerasan dari pria itu. Cukup sudah ia terkungkung rasa takutnya sendiri. Karena sebenarnya ia punya banyak pelindung. Yang ia perlukan hanya sedikit mengadu. Tanpa perlu meminta kesaksial pohon jati dan aspal tua. Lebam di pipinya cukup menjadi wakil mereka.

0 komentar: