SASTRA INDONESIA PERIODE 1950-an

0
SASTRA INDONESIA PERIODE 1950-an

Oleh
Lidya Devega Slamet, Pradicta Nurhuda, Nur Dwi Anggraenni, Wegig Panji Prasasti        

I. LATAR BELAKANG
Kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan yang berkembang mulai berabad-abad yang lalu.  Setiap masa selalu berubah baik bentuk maupun isinya.  Munculnya kesusastraan Indonesia baru diawali dengan munculnya kesadaran nasional.  Sejak lahirnya kesadaran nasional itu munculah pembagian sejarah kesusastraan atau yang dinamakan periodesasi sastra.
Sejarah kesusastraan Indonesia terbagi ke dalam beberapa periode atau angkatan. Setiap angkatan dalam kesusastraan Indonesia ditandai dengan corak kebiasaan, adab, dan etika yang khas dalam angkatan tersebut. Bertolak dari situ, kita mengetahui Angkatan 20-an (Angkatan Balai Pustaka) dan Angkatan 30-an (Angkatan Pujangga Baru), Angkatan 45-an (Angkatan Perang), Angkatan 50-an, Angkatan 60-an, dan hingga periode Angkatan 70-an.
Untuk membedakan hasil karya angkatan satu dengan angkatan yang lain perlu ditentukan karaktiristik atau ciri-ciri setiap hasil karya mulai gaya bahasa pengarang, watak tokoh yang ditampilkan, adat, dan kebiasaan suatu wilayah, etika, masalah yang dibahas dalam cerita, hingga kondisi politik. Setiap pengarang memiliki corak dan kebiasaan dalam menampilkan karakter tokoh yang diciptakannya. Kebiasaan diartikan sebagai sesuatu yang biasa dikerjakan oleh individu atau masyarakat di wilayah tertentu. Adat diartikan sebagai aturan yang lazim dilakukan secara turun-temurun. Adapun etika atau yang sering disebut dengan moral atau akhlak atau budi pekerti diartikan sebagai ajaran baik-buruk mengenai perbuatan, sikap, atau kewajiban dalam masyarakat tertentu.
Sesungguhnya setiap periode angkatan memiliki ciri-ciri maupun karateristik yang berbeda, tidak terkecuali ciri-ciri karya sastra angkatan 50-an baik dalam bentuk puisi maupun prosa.
Dalam bentuk puisi gaya bercerita pengarang berkembang seperti berkembangnya puisi cerita atau balada dengan gaya yang lebih sederhana seperti puisi karya Rendra yaitu “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Nyanyian Angsa” ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan. Mengungkapkan masalah-masalah sosial seperti, kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya dan miskin, dan tidak adanya pemerataan dalam tingkatan sosial. Sedangkan dalam bentuk prosa banyak menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari, keadaan pedesaan, dan perkembangan politik.
Pada tahun 50-an terjadi kelesuan dalam bidang ekonomi, hal ini menyebabkan adanya kemacetan di segala bidang khususnya bidang penerbitan. Akibatnya, hampir setiap karya sastra diterbitkan melalui majalah.

II. KARATERISTIK
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Pada tahun-tahun yang lalu belum ada penegasan tentang adanya angkatan ’50. H.B. Jasin belum menyebutkan Angkatan ’50, sedangkan Slamet Muljono berpendapat bahwa sastrawan Angkatan ’50 hanyalah pelanjut (successor) saja, karena beliau menganggap bahwa sastra Indonesia lahir pada tahun 1945 (Indonesia Merdeka). Karakteristik yang menonjol pada angkatan ini adalah sebagai berikut.
1.    Menunjukan sastra nasional Indonesia yang ditunjukan dalam puisi yang bertema kebudayaan daerah. Contoh:

ANJING MAKAN AKAR KAYU
Mari bone
Beta cari gadis, cari nona,
Beta tukar sirih pinang
Bersama melangkah, bersama berlagu,
Menunggu bulan naik, bulan terang
Siku beta main di dada
Semalam saja, besok
Berpasar sejam.

Dansa, hai!
Melangkah, hai!
Berputar dalam lingkaran
Berbaris
Tanpa berkepit-kepitan
Sahut hormati beta punya lagu:
Asu-asu bukae hau baat.

Lankah satu langkah dua
Entakkan kaki, dua langkah ke muka
Dua langkah mundur, entakkan kaki!
Nona terima sirih pinang
Turut beta punya mau:
Bulan naik, bulan terang
Anjing makan akar kayu
Dansa, hai!
Berlaku, hai!
Lupakan dingin hawa pagi
Buku-buku, segala teori.
Malam ini kita menari.

2.    Keindahan puisi sudah dimulai didasarkan pada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional.
Periode ’50 bukan hanya pengekor (epigon) angkatan ’45, angkatan ini juga merupakan survival. Pada tahun 1950-an, terdapat beberapa peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan negeri yang juga berekses buruk terhadap perkembangan sastra Indonesia saat itu.

III. PARA PENGARANG DAN KARYANYA
PRAMODYA ANANTA TOER
Pengarang yang di lahirka di Blora tanggal 2 pebruari 1925 ini mulai mengarang sejak zaman jepang dan pada awal masa revolusi telah menerbitkan buku kranji dan bekasi jatuh. Pram ialah seorang yang produktif menulis, baik berupa cerpen, roman, esai maupun kritik. Ketika terjadi pemberontakan gestapu, ia termasuk tokoh LEKRA yang di tahan dan buku-bukunya dinyatakan terlarang. Karya-karya pram banyak yang telah di terjemahkan dalam berbagi bahasa asing antaranya ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Rusia, Cina, Jepang dan yang lainya.
Karya-karyanya:
1.    Keluarga gerilya (1950)
2.    Percikan revolusi (1950)
3.    Cerita dari jakarta (1957)
4.    Bukan pasar malam (1951).
 A.A NAVIS
Ali Akbar Navis yang lebih dikenal dengan A.A Navis lahir di Padang Panjang 17 November 1924. A.A Navis baru muncul dalam gelanggang sastra indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama dan sekaligus menjadi terkenal berjudul ‘Robohnya surau kami’. Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang psikologis yang luas. Dalam roman yang di tulis A.A Navis berjudul ‘Kemarau’, dengan jelas Navis melukiskan konflik sia-sia yang timbul hanya karena berkuasanya kesempitan pandangan dan kefanatikan dalam ber-islam.
Karya :
-    Robohnya Surau Kami (1956)
-    Hujan Panas (1964)
-    Bianglala (1964)
-    Kemarau (1967)

W.S RENDRA
Rendra yang semula nama lengkapnya Willibrodus Surendra Broto yang lahir di Solo tanggal 7 Nopember 1935. sajaknya yang pertama menarik karena kesederhanaan dan kekayaan imajinasinya. Sajak itu kebanyakan berupa etika, berlainan dengan umumnya sajak indonesia pada masa itu yang kebanyakan berupa lirika. Kesederhanaan sajak-sajak Rendra bukan hanya dalam pemilihan kata saja, tetapi juga pemilihan materinya. Selain menulis saja Rendra pun banyak menulis cerpen. Dalam eksperimennya dalam dunia teater, Rendra memperkenalkan improvisasinya yang merupakan teater yang mau lepas dari sastra yaitu dengan sesedikit mungkin memakai percakapan.
Karya :
-    Balada Orang-orang Tercinta (1957)
-    4 Kumpulan Sajak (1961)
-    Ia Sudah Bertualang (1963)

N.H DINI
N.H Dini lahir di Semarang tanggal 29 Februari 1936, mulai menulis cerpen yang dimuat dalam majalah kisah dll. Dalam cerpennya Dini menunjukkan perhatian yang besar terhadap kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi di sekelilingnya. Misalnya dalam cerpennya yang berjudul ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’. Dini kemudian menikah dengan diplomat Prancis mengikuti suaminya Ia pernah lama tinggal di Jepang, dan antara lain menulis sebuah roman pula yang fragmennya pernah di umumkan dalam majalah. Roman itu berjudul ‘Namaku Hiroko’
Karya :
-    Dua Dunia (1956)
-    Pada Sebuah Kapal
-    Namaku Hiroko
-    La barka

IV. PROBLEMATIKA SASTRA INDONESIA PERIODE 1950-an
Kesusastraan Indonesia atau kesusastraan bangsa mana pun juga di dunia ini pada dasarnya merupakan potret sosial budaya masyarakatnya. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah bangsa itu. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa yang bersangkutan.  Memasuki dasawarsa tahun 1950-an kesusastraan Indonesia berada dalam situasi yang amat semarak. Selain tentang kisah peperangan, juga muncul semangat kedaerahan dan nafas filsafat eksistensialisme. Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, dan teristimewa Iwan Simatupang adalah beberapa nama yang sangat bersemangat memasukkan filsafat eksistensialisme ke dalam karya-karyanya. Iwan Simatupang kemudian menjadi sastrawan penting ketika novel-novelnya diterbitkan selepas peristiwa tragedi 30 September 1965.
Periode ini merupakan kelanjutan dari Angkatan ‘45 dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1) Pusat kegiatan sastra telah meluas ke seluruh pelosok Indonesia tidak hanya terpusat di Jakarta atau Yogyakarta;
2) Kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra nasional Indonesia;
3) Nilai keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada kekuasaan asing, tetapi kepada peleburan antara ilmu dan pengetahuan asing berdasarkan perasaan dan ukuran nasional.
Pengarang yang dimasukkan ke dalam periode ini, adalah:
1) Toto Sudarto Bachtiar karyanya Suara (kumpulan sajak) (1950–1955) dan Etsa (1958);
2) Ajip Rosidi karyanya Tahun-Tahun Kematian (1955), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Perjalanan Penganten (1958), Pesta (kumpulan sajak) (1956), Ketemu di Jalan (1956), Cari Muatan (1959), dan Tinjauan tentang Cerita Pendek Indonesia (1959);
3) Trisnoyuwono karyanya Laki-laki dan Mesiu (1959) serta Angin Laut (1958)
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B. Jassin. Cirri angkatan ini adalah karya sastra yang di dominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainya. Pada kalangan ini muncul gerakan komunis di antara para sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga kebudajaan rakyat (LEKRA) yang berkonsep sastra realism-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di indonesiapada awal tahun 1960, menyebabkan berhentinya perkembangan sastra karena masuk ke dalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G 30S
Demikianlah, jejak langkah sastra Indonesia ini lebih merupakan tinjauan selayang pandang tentang perjalanan kesusastraan Indonesia. Terjadinya perubahan sosial-politik-ekonomi-budaya, secara langsung ikut mempengaruhi gaya pengucapan dan tema-tema yang diangkatnya. Dengan begitu, perjalanan sastra Indonesia sesungguhnya merepresentasikan perkembangan pemikiran atas terjadinya perubahan sosial yang terjadi di negeri ini. Dalam hal itulah, sastra laksana potret sosial dan di sana tercermin pula semangat zamannya.

V. PERISTIWA BUDAYA SASTRA INDONESIA PERIODE 50-an 
A. Krisis Sastra Indonesia
    Lingkungan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka mulai kehilangan vitalitasnya setelah Chairil Anwar meninggal dunia. Dua orang, Asrul Sani dan Rivai Apin, yang diharapkan dapat melanjutkan kepeloporan Chairil Anwar justru menjadi pasif dalam berkarya. Pada saat itu pula, situasi nasional memburuk. Pada April  1952 diselenggarakan sebuah simposium tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang” di Jakarta. Simposium ini diselenggarakan oleh golongan-golongan kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pujangga Baru. Beberapa di antara pembicaranya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, M. Said, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, dan St. Sjahrir. Dalam simposium itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, dan “krisis ekonomi”.
Pada tahun berikutnya, 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposium tentang kesusastraan Indonesia. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan “impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia.  Persoalan tentang krisis pun semakin ramai dibicarakan ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Salah seorang sastrawan Indonesia yang bernama Soejatmoko menulis sebuah esai yang berjudul “Mengapa Konfrontasi”, Dalam esainya ia melihat tanda-tanda bahwa krisis dalam sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia juga berkata bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil, sedangkan roman-roman besar tiada ditulis.
Sedangkan, sastrawan lain seperti Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh secara tandas menolak penamaan “krisis sastra”. Bagi mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur. Begitu juga H.B. Jassin mengemukakan sebuah prasaran berjudul “Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis” dalam simposium sastra pada Desember 1954. Jassin tidak setuju dengan sebutan impasse dalam kehidupan sastra Indonesia. Sitor Situmorang pun berpendapat bahwa sastra Indonesia bukan mengalami krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra. Pada masa ini pula banyak pengarang yang meragukan kualitas penilaian H.B. Jassin. Hal tersebut sangat terlihat dari beberapa penolakan hadiah dari penerima hadiah yang diberikan oleh majalah Sastra. Mereka, di antaranya adalah Motinggo Boesje dan Virga Belan, penolakan itu merupakan isyarat agar Jassin bangun dari “kantuknya”, terutama adar sastra Indonesia, sastrawan Indonesia, para sarjana kaum intelektual sastra bangun dari kantuknya untuk melihat kenyataan dan hari depan sastra Indonesia pada tujuaannya.
B. Sastra Majalah
    Sejak tahun 1953, Balai Pustaka kedudukannya tidak menetu. Penerbit ini berkali-kali mengalami perubahan status. Oleh karena itu, aktivitas sastra terutama hanya dalam maja;ah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Karangan-karangan yang dapat dimuat pun akhirnya hanya dalam bentuk sajak, cerpen, dan karangan lain yang tidak begitu panjang sesuai kebutuhan majalah.
    Majalah Kisah yang eksis pada 1953 hingga 1956 memiliki peranan cukup besar karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang berawal dalam majalah ini. Selain itu, terdapat majalah mahasiswa Kompas yang setelah dipimpin oleh Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra. Kemudian, ada majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi, ruangan kebudayaan Genta dalam majalah Merdeka asuhan S.M. Ardan, majalah Seni, majalah Konfrontasi, majalah Tjerita, dan majaah Budaya serta beberapa majalah yang sudah lama, seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, dan Indonesia

C. Tokoh dan Peran Tokoh
Iwan Simatupang menunjukkan tren baru dan membawa udara baru bagi dunia sastra, dengan memperlihatkan corak yang unik dengan pemikiran yang bernas dan orisinal. Iwan Simatupang gagal menjadi dokter dan tidak jadi rahib juga, walaupun dia pintar dan jenius, itu menjadi inspirasi dan dituangkan ke novel Merahnya Merah. Berbeda dengan eksistensi Pramoedya Ananta Toer yang sedang meningkat dengan penerbitan buku-bukunya.karyanya mendapat hadiah pertama sayembara yang diadakan Balai Pustaka, Dia jang Menjerah, yang diterbitkan ole Pustaka Rakyat, Pertjikan Revolusi, Gapura.
Aris Siswo adalah pengarang cerita pendek yang pandai menggunakan peristilahan-peristilahan dari dunia penerbangan (Majalah Kisah 1954), selain istilah-istilah ilmiah juga banyak istilah musik, seni lukis dan lain-lain. Banyak pula metafor baru dibentuk dari peristilahan cabang-cabang kesenian tersebut.
Dalam karangannya “Ke Mana Arah Perkembangan Puisi Indonesia” dalam Bahasa dan Budaya Th.II Nomor2, Desember 1953, Slametmuljono menganggap dengan positif filsafat eksistensialisme yang mempengaruhi kesusastraan Indonesia merupakan satu bahaya, filsafat ekstensialisme memutuskan hubungan manusia denga Tuhan, yang akibatnya adalah kedangkalan hidup.
Tahun 1959 buku Muhammad Ali berjudul Hitam atas Putih sesudah naskahnya yang pertama dikirimkan tujuh tahun sebelumnya kepada Balai Pustaka. Salah satu penerbit yang mencoba menerbitkan buku-buku bernilai sastra ialah N.V. Nusantara, berkedudukan di Bukittinggi-Jakarta-Medan. Tahun 1956 terbit dari penerbit ini dalam “Seri Denai” Robohnya Surau Kami karangan A.A. Navis dan Dua Dunia Nh Dini. Namun usaha tersebut patah di tengah jalan.
Trisnojuwono memberikan harapan-harapan baik dengan bukunya Laki-laki dan Mesiu juga menyodorkan kumpulan Angin Laut yang jauh di bawah nilai pada masyarakat yang mulai mengaguminya. Keduanya terbit pada Pembangunan berantara satu tahun yang pertama terbit tahun 1957 dan yang kedua tahun 1958.
Rijono Pratikto tertarik pada kesusastraan tatkala muncul karangan-karangan Idrus dan tidaklah mengherankan jika karangan-karangannya yang pertama banyak dipengaruhi oleh Idrus. Cerita Rijono yang pertama berjudul “Api” pada Januari 1949, dimuat dalam Mimbar Indonesia. Saat Belanda baru melancarkan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 yang dihentikan oleh Dewan Keamanan dan suasana antara Belanda dan Indonesia. Seperti Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi, Rijono mengidentifikasikan diri dengan roh orang yang mati.

GADIS PEMINTA-MINTA

 Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dam kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara ketedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Toto Sudarto Bacthtiar

0 komentar: