Resume

0
FILSAFAT ILMU
LOGIKA, ETIKA, DAN ESTETIKA DALAM ILMU

1.    LOGIKA
1.1    Pengertian Logika
Logika berasal dari kata yunani kuno ‘logos’ yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
1.2    Sejarah Logika
Logika dimulai sejak Thales (624 SM – 548 SM). Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Sejak itulah Thales telah mengenalkan logika induktif. Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang selanjutnya disebut logica scientica. Menurut Aristoteles logika Thales disimpulkan dari :

Air adalah jiwa tumbuh – tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan akan mati).
Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia.
Air jugalah uap.
Air jugalah es.
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti air adalah arkhe alam semesta.
1.3    Peranan Logika
Tujuan dari logika untuk menentukan, bukan kualitas dari bukti-bukti ataupun kualitas dari kesimpulan yang ditarik, namun lebih kepada kualitas dari hubungan yang muncul antara suatu kesimpulan dan bukti-buktinya. Dengan ini dimaksudkan bahwa logika pada dasarnya mengevaluasi argumen. Para ilmuwan tak akan dapat berbuat banyak tanpa adanya logika dalam mengetengahkan penalarannya. Benar ataupun salah, kedudukan tertinggi bagi pengetahuan yang ilmiah adalah hasil dari keyakinan yang luas yang tertumpu pada landasan–landasan yang serba logis.
1.4    Macam-Macam Logika
1.    Logika alamiah
Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan–keinginan dan kecenderungan yang subyektif. Kemampuan ini ada sejak lahir.
2.    Logika ilmiah
Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas–azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran.
1.5    Dasar-Dasar Logika
1.    Logika Deduksi
Di dalam sistem logika Aristoteles, semua argumen dipecah menjadi tiga proporsi yang mendasar, yaitu yang pertama dan kedua sebagai premis–premis yang menyajikan bukti, dan yang ketiga sebagai kesimpulan yang diperoleh dari kedua premis tersebut. Bentuk argumentasi seperti ini disebut  sebagai silogisme.
2.     Logika Induksi
Dalam argumen yang bersifat induktif tidak ada keharusan penalaran di mana suatu argumen yang sah bertumpu pada premis–premis yang benar akan menghasilkan kesimpulan yang benar , dan juga tidak ada sifat inkonsisten yang logis dalam menerima kebenaran dari premis–premis sementara yang mengingkarinya dalam kesimpulan.
2.    ETIKA
2.1 Pengertian Etika
Etika (Yunani Kuno "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.  Menurut Maryani dan Ludigdo (2001), “Etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.”
Liputan etika lebih luas daripada manganalisis apa yang betul dan salah seperti yang sering dianggap. Aspek utama etika ialah "kehidupan baik", yaitu kehidupan yang bernilai atau memuaskan, yang dianggap lebih penting daripada tingkah laku moral oleh banyak ahli falsafah. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
2.2    Jenis Etika
1.    Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia.
2.    Etika Teologis
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis.
2.3    Realisasi Etika Filosofis dan Etika Teologis
1.    Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia.
2.    Etika Teologis
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis.
3.    Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar.
2.4    Teori Etika
1.    Teleological ethics (result-oriented)
2.    Deontological ethics (act-oriented)
2.5    Etika dan Ilmu
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan dampak negatif ilmu pada kemanusiaan:
1.    Ilmu telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2.    Ilmu telah berkembang semakin pesat dan semakin esoteris, sehingga hanya para ilmuwan yang lebih mengetahui tentang akibat-akibat yang terjadi bila ada penyalahgunaan.
3.    Ilmu telah berkembang sehingga terdapat kemungkinan ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik social engineering.
4.    Melihat masalah-masalah moral dan kemanusiaan ini, para ilmuwan terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama menginginkan ilmu tetap bersifat netral terhadap nilai-nilai. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan suatu pengetahuan dan terserah orang lain untuk menggunakannya, apakah untuk tujuan yang baik atau buruk. Kubu kedua prihatin terhadap masalah-masalah tersebut dan berpendapat bahwa netralitas ilmu hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaan, bahkan dalam pemilihan obyek penelitian saja, kegiatan keilmuan harus berlandaskan etika.
3.    ESTETIKA
3.1 Definisi Estetika
Istilah estetika diadaptasi dari bahasa Inggris, ‘aesthetic’, yang berasal dari bahasa Yunani ‘aesthetikos’ yang berarti segala sesuatu yang bisa diserap oleh indra, atau yang berkaitan dengan penginderaan, pemahaman, dan perasaan. Estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang dapat merasakannya. Cabang filsafat ini kerap diidentikkan dengan filsafat seni.
3.2    Estetikandan Keindahan
Istilah ‘estetika’ dipopulerkan pertama kali pada pertengahan abad ke-18 oleh seorang filsuf Jerman, Alexander Baumgarten. Dalam kajian filsafat, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek estetis, seperti alam dan karya seni; atau dengan menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh pengamat (pengalaman keindahan yang dialami seseorang). Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan. Seiring perjalanan waktu, konsep-konsep tentang estetika dan keindahan berkembang lebih luas. Estetika modern tidak hanya berisi penilaian-penilaian atau evaluasi tentang keindahan saja, tetapi juga mencakup penelusuran sifat-sifat, manfaat, ragam penyikapan, dan pengalaman-pengalaman estetis
3.3    Estetika dan Ilmu
Filsuf terkenal, Thomas Aquinas (1225-1274) merumuskan, “keindahan berkaitan dengan pengetahuan.” Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga syarat yaitu keseluruhan/kesempurnaan (integritas), keselarasan yang benar (proportio) dan kejelasan/kecemerlangan.



LIDYA DEVEGA S
100211403868/ OFF B



0 komentar: